(Oleh: Andi SR AK)
Diperas,
diintimidasi, diintervensi, diculik, bahkan dibunuh merupakan resiko
yang dihadapi Keuchik pada masa konflik bersenjata di Aceh (1998-2005).
Ketika itu, Keuchik berada pada posisi “rawan” dan “serba salah”.
Di daerah yang memiliki intensitas
konflik tinggi, sulit menemukan proses pemilihan Keuchik yang berjalan
normal. Keuchik kerap “ditunjuk” secara aklamasi berdasarkan musyawarah
Gampong, kalau tidak ingin disebut “didesak” untuk menjadi Keuchik oleh
masyarakat Gampong. Dalam keadaan perang, Keuchik adalah “pahlawan”
advokasi bagi masyarakat Gampongnya.
Pasca damai, Keuchik sebagai kepala
pemerintahan terbawah (Gampong) lebih cenderung dipahami sebagai aktor
politik lokal bersama Tuha Peut yang mendapat kepercayaan
(legitimasi) masyarakat setelah melewati beberapa fase politis sesuai
mekanisme demokrasi yang berlaku.
Suara yang telah diberikan juga dianggap
hutang politis dan harus dibayar sesuai ekspektasi warga Gampong yang
telah memilihnya. Namun, belum berfungsinya Tuha Peut dengan baik, masih menempatkan Keuchik sebagai aktor tunggal “single player”
dalam mensukseskan pembangunan Gampong. “Pembangunan” yang menjadi kata
kunci bagi masyarakat dalam melakukan pengawasan capaian kinerja
Keuchik.
Berdalih pada pengawasan dan kebebasan
berpendapat, persoalan kecil pun dapat dipolitisir dengan mudah dan
dijadikan isu untuk mengkritik Keuchik dengan keras bahkan menjadi dalih
untuk menurunkannya dari jabatan. Meski usaha seperti itu tidak
semuanya berhasil karena persoalan tidak bersifat kasuistik dan lain
sebagainya, usaha-usaha sedemikian makin lumrah dan terus menggejala.
Keuchik pun kerap dijadikan “tong sampah” terdekat untuk menampung
luapan kekecewaan dan keputus-asaan politik karena tidak ada satupun
program pembangunan yang turun ke Gampong dari pemerintah level di
atasnya hingga Pemerintah Pusat.
Kesetaraan suara (one man, one vote)
dan kesamaan hak berbicara atasnama “Demokrasi” tanpa pertimbangan
kualitas suara “opini” membuat tatanan Demokrasi di tingkat Gampong
berjalan pincang. Ditambah lagi, adanya arus deras informasi, perubahan
tatanan pemerintahan Aceh dan kebijakan yang bersifat saling silang
antara elite Aceh dan Pusat menjadikan Gampong seperti anak sungai.
Gampong dipaksa menanggung beban air bah yang datang dari berbagai sisi
tanpa persiapan kedalaman pemahaman dan tanggul yang kuat sebagai sarana
untuk mengalirkan air dengan baik (implementasi).
Seyogyanya, warga pun mesti merespon
dengan cerdas fenomena reformasi sesuai “MoU” ini, tidak cukup hanya
mengenal istilah lokalis seperti wali nanggroe, tuha peut, tuha lapan, keujrun dsb,
tapi juga mempersiapkan diri untuk menerima pola-pola pembangunan model
baru dan konflik baru yang biasa disebut konflik regulasi.
Sebelum masuk lebih jauh, konstruksi
opini ini dilandasi atas hasil pengamatan langsung (observasi) sejak
2011-sekarang dan wawancara menggunakan metode terbuka (cair) dengan
beberapa narasumber berkompeten di Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara.
Gampong sesuai MoU Helsinki
Kesepakatan damai MoU Helsinki tahun2005
dan Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006, secara
politis dan yuridis kembali menegaskan keberlangsungan reformasi lokal
hingga ke struktur terendah Gampong. Secara teori, Gampong benar-benar
telah otonom, tidak lagi bernama Desa dan Keuchik tidak lagi bergantung
di bawah Camat. Disamping sebagai kepala Badan Eksekutif Gampong,
Keuchik juga sebagai tetua adat dan pembina kehidupan beragama dan
pelaksanaan Syari’at Islam. Qanun No. 5 Th. 2003 juga membebankan
Keuchik menyangkut kegiatan ekonomi, hukum, budaya serta sosial
perdamaian.
Uniknya, semangat reformasi lokal tidak
diimbangi dengan reformasi sumber daya manusia (SDM) dan penyediaan
sarana-prasarana di tingkat Gampong untuk menjalankan nilai-nilai baru
sesuai MoU Helsinki dan UUPA. Kelembagaan Gampong dibiarkan berjalan
seadanya tanpa bantuan dan penataan ulang (set-up) yang
demokratis sesuai hak otonomnya. Meski realitas kesenjangan antara teori
dan aplikasi di tingkat Gampong begitu mencolok, Keuchik tetap berusaha
bertahan “survive” dan memperjuangkan aspirasi pembangunan warganya seperti ‘popeye’ yang menjadi manusia super dengan hanya memakan bayam.
Aspirasi Dewan dan Program Kerja Eksekutif
Keuchik dianggap sukses bila mampu
melobi program pembangunan jangka panjang dari anggota Dewan, Bupati dan
Gubernur. Bila ini yang dijadikan patokannya, maka dapat dipastikan
seluruh Keuchik di Kecamatan Pirak Timu gagal total, karena irigasi,
tanggul, jalan, jembatan, dan fasilitas Gampong sampai sekarang masih
menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Sistim jemput bola dalam bingkai
kekhususan Aceh mempertontonkan sebuah “maklumat” atau model baru
pengajuan program yang semestinya dimaklumi oleh warga. Kesia-siaan
Musyawarah Rembuk Pembangunan Desa (MUSREMBANGDES) yang dilakukan,
sekali lagi, ikut mempertegas bahwa otonomi dan dana otsus adalah milik
penguasa tingkat kabupaten dan provinsi, hal tersebut juga membantah
kalau Keuchik belum berusaha maksimal sesuai kapasitasnya.
Uniknya, Kecamatan Pirak Timu adalah
basis gerakan bersenjata sejak era pahlawan Nasional Cut Moetia hingga
konflik terbaru dengan nama Sagoe Tjoet Moetia sebagai basis GAM. Tidak berhenti disitu, Pirak Timu kembali menjadi basis loyalis Partai Aceh dan ZIKIR.
Dalam perspektif politik dan gerakan sosial Aceh, Pirak Timu selalu
mendapat “perhatian” dari semua pihak, termasuk perusahaan tambang
Exxon-Mobil yang menempatkan beberapa titik kekuatan SATGAS PAM OVITNAS
di sana. Tapi, pasca damai tak satupun merasa tertarik melihat Pirak
Timu dalam perspektif demokrasi, saat Pirak Timu berjuang mereformasi
Pemerintahan Gampong dan pembangunan sosial-ekonominya.
Harapan
Kenyataan demografis yang masih
tertinggal dan ketimpangan pembagian kue “MoU” tidak menyurutkan
semangat para Keuchik di Pirak Timu untuk terus berharap dan “berjuang”
demi generasi penerus agar kelak dapat hidup lebih demokratis dan
memiliki kesempatan pembangunan yang sama dengan daerah lain.
Cita dan hambatan menghadapkan Keuchik pada dua pilihan; terus menjadi popeye lokal
Aceh dengan mempertahankan semangat patriotik ke-Acehannya atau menjadi
Habib Bugak dengan bersikap lebih diplomatis dan terbuka terhadap dunia
luar? Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat dapat memilihkan
jawaban, atau salah satu dari keduanya dapat menjadi jawaban bagi Pirak
Timu.
Semoga kecelakaan sejarah reformasi di
Pirak Timu bisa mendapat perhatian dari semua pihak, termasuk
Exxon-Mobil. Keuchik-Keuchik di sana terus berharap dan berusaha. Amin. (op)
(Penulis adalah Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) angkatan III dan alumni STAI-Al Aziziah Samalanga)
Sumber: http://atjehlink.com