Oleh Ahmady Meuraxa
Sebagai daerah post
conflict tentu memantau pergerakan konflik di Aceh merupakan hal penting
untuk mengantisipasi potensi-potensi konflik yang terjadi di masa datang. Untuk memantau potensi konflik tersebut,
salah satu cara sederhana adalah melakukan pemetaan berdasarkan kekerasan dan
konflik yang terjadi sebelumnya.
Dari pemetaan ini akan terlihat jelas apa saja jenis kekerasan dan konflik yang
sering muncul di Aceh, lokasi dan pergerakannya, serta dampak kasus tersebut
kepada masyarakat. Dari pemetaan inipula
para pemangku kebijakan seharusnya bisa memahami pola untuk
mengantisipasi konflik tersebut di masa datang.
Secara nasional, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah
melakukan aktivitas pemantauan dan pemetaan konflik secara rutin di semua
provinsi lewat program yang dinamakan Sistem Nasional Pemantauan
Kekerasan (SNPK). Program ini
dihadirkan bekerjasama dengan world Bank, dengan tujuan untuk memantau tingkat konflik dan kekerasan di
semua wilayah, sehingga dari hasil
pemantauan itu, Pemerintah dapat
mengambil kebijakan preventif untuk meminimalisir, mengantisipasi dan mengelola
potensi konflik tersebut di masyarakat.
SNPK ini adalah langkah keterbukaan Pemerintah dalam
memberikan informasi yang akurat, sistematis dan rinci tentang konflik kekerasan
di Indonesia. Pola pemantauan kekerasan ini dilakukan melalui analisis
pemberitaan media. Caranya, semua
pemberitaan media terkait konflik dan kekerasan dimasukkan dalam data entry berdasarkan wilayah dan jenis
kekerasan. Pada waktu tertentu, data ini diteliti dan dianalisis untuk memahami
pola dan tren kekerasan yang terjadi.
Sistem SNPK ini sebenarnya telah lama dilakukan di
Aceh oleh LSM lokal untuk membaca pergerakan kekerasan di wilayah ini
pascakonflik. Koalisi NGO HAM Aceh termasuk yang aktif melakukan pemetaan ini. Dari pengalaman kami, terbukti kalau pemantauan
melalui pemberitaan media tidak cukup akurat. Pemantauan itu mestinya diperkuat
dengan investigasi mendalam yang diperkuat pula dengan wawancara dan pandangan
sejumlah aktor konflik itu sendiri. Dari pola seperti ini maka akan terlihat
jelas tren dan fenomana kekerasan yang terjadi di lapangan.
Tren seperti ini biasanya akan berlanjut dalam
beberapa periode ke depan. Karena itu, membaca tren kekerasan secara sistematis
di hari kemarin, akan memberi pemahaman kepada kita tentang cara mengantisipasi
potensi kekerasan dan konflik di hari esok.
Untuk pemantauan kekerasan dan konflik sepanjang tahun
2013 lalu, Koalisi NGO HAM mencoba memadukan pola pemantauan kombinasi ala SNPK
dan investigasi lapangan serta wawancara para aktor. Dari pola pemantauan seperti ini, yang diperoleh tidak hanya data dan angka,
tapi juga fenomena dari kekerasan itu
sendiri. Pola ini merupakan kombinasi pemantauan teknik kualitatif dan
kuantitatif. Sebagai lembaga yang
bekerja untuk publik, kami mencoba
memaparkan hasil pemantauan itu untuk menjadi pembelajaran kita dalam
mengantisipasi potensi konflik 2014.
Kekerasan
Berdasarkan Wilayah
Berdasarkan hasil pemantauan media yang dilakukan Koalisi NGO HAM dan SNPK, kasus kekerasan dan konflik yang terjadi di
Aceh sebanyak 563 kasus.
Dari data temuan itu,
terlihat kalau kawasan dengan tingkat kerawanan konflik yang tertinggi di Aceh ada di wilayah
Aceh Utara 88 kasus), Aceh Timur (57),
Banda Aceh (48), Bireuen (43), Pidie (32), Lhokseumawe (45)dan Aceh Besar (33). Data ini membuktikan
kalau kawasan rawan konflik masih terdapat di wilayah pesisir timur. Sementara
untuk wilayah pesisir barat, tingkat konflik relatif tinggi ada di Kabupaten
Aceh Barat (23).
Untuk wilayah Aceh bagian tengah, tingkat kekerasan tertinggi ada di Kabupaten
Aceh Tengah (15 kasus). Sabang adalah
wilayah dengan tingkat konflik dan kekerasan paling rendah selama tahun 2013
ini (0 kasus).
Tren tingginya konflik di wilayah pesisir timur ini
merupakan fenomena yang sudah biasa terjadi di Aceh. Data Polda Aceh juga menyebutkan kalau wilayah
pesisir timur merupakan kawasan yang relatif lebih rawan terkait dengan konflik
dibanding kawasan tengah dan pesisir barat Aceh.
Beberapa faktor penyebabnya adalah karena poulasi
penduduk yang lebih banyak di wilayah ini,
tingkat kemiskinan yang tinggi, serta banyaknya sumber ekonomi yang
dikuasai kelompok swasta. Bank Indonesia
cabang Aceh juga menyebutkan kalau
peredaran uang di Aceh lebih banyak terdapat di pesisir timur dan wilayah Banda
Aceh. (BI Aceh 2013).
Dalam sejarah konflik di Aceh, pesisir timur memanng merupakan
kawasan yang paling rawan dengan bara kekerasan. Pada momentum-momentum politik tertentu, seperti Pemilukada 2006 dan 2012 serta dan Pemilu 2009, wilayah ini juga selalu menunjukkan adanya tensi
konflik yang tinggi. Fakta ini membuktikan kalau konsentrasi penanganan konflik
dan kekerasan seharusnya perlu ditingkatkan di wilayah ini.
Lebih-lebih pada 2014 ini, di mana akan berlangsung
pesta demokrasi lima tahunan nasional. Sama
seperti Pemilu dan Pemilukada
sebelumnya, pemilu legislatif di Aceh diperkirakan bakal menghadirkan sejumlah kasus
kekerasan. Potensi itu setidaknya terlihat di sepanjang tahun 2013, dengan munculnya sejumlah kasus kekerasan terkait
Pemilu di banyak tempat. Ada kasus
pembakaran mobil calon legislatif, ada penembakan dan pembunuhan aktivits
partai, ada pula pengeroyokan terhadap orang yang dituduh merusak simbol-simbol
partai. Jika di Provinsi Aceh, konflik dan kekerasan Pemilu belum terlihat, di
Aceh, sejak pertengahan 2013, situasi sudah mulai memanas.
Pola
Kekerasan
Salah satu kekerasan pemilu yang mendapat sorotan
banyak media dan publik Aceh sepanjang tahun 2013, adalah kasus penembakan yang menewaskan Muhammad
Bin Zainal Abidin (33 tahun), atau akrab
dipanggil Cek Gu, Anggota Tameng
Nasional Aceh (TNA), sayap politik Partai
Nasional Aceh (PNA), partai lokal yang disebut-sebut pesaing kuat dari
Partai Aceh (PA).
Baik PNA maupun PA adalah partai yang sama-sama
didirikan oleh mantan pentolan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Cek Gu adalah
mantan kombatan GAM yang memutuskan keluar dari Partai Aceh untuk bergaung
dengan PNA.
Persaingan antara PA dan PNA sebenarnya sudah terlihat
sejak awal. Kehadiran PNA juga tidak terlepas dari kekecewaan sejumlah tokoh
GAM terhadap PA. Tak heran jika kedua
partai ini sering sekali saling bersinggungan. Di lapangan, kader dan politisi kedua
partai ini kerap terlibat bentrok, baik bentrok fisik maupun bentrok psikologi.
Penembakan yang mewaskan Cek Gu dipastikan terkait
dengan persaingan politik kedua partai ini. Cek Gu ditembak pada pukul 05.00
WIB, Jum'at 25 April 2013 di Desa
Beureueh, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie, di saat korban dalam perjalanan pulang naik mobil Avanza
pribadinya dari Peureulak, Aceh Timur menuju rumahnya di Titeu Keumala, Pidie.Ia
sendirian di mobil itu.
Di sekitar desa Keumangan, Kecamatan Mutiara, Pidie,
korban ditemui oleh dua pemuda yang sudah dikenalnya. Bahkan kedua orang itu sempat naik ke dalam
mobilnya. Mereka berbicara sejenak sambil mobil berjalan. Tidak disangka, ternyata kedua rekannya itu
sudah sejak awal berencana membunuhnya.
Ketika asyik menyetir mobil, salah seorang dari pelaku
mengeluarkan pistol, dan langsung mengarahkan tembakan dari jarak satu meter ke
tubuh Cek Gu. Dorr…! Lekaki bertubuh kekar itu tewas dengan tiga tembakan
kepala dan badah.
Setelah eksekusi selesai, kedua pelaku mendorong mobil
Avanza itu bersama mayat Cek Gu di dalamnya, ke arah Sungai Tiro di Desa
Bereueh Kecamatan Mutiara. Esok paginya masyarakat dikejutkan dengan penemuan mayat
Cek Gu terbujur kaku terhembas bersama mobilnya di sungai tersebut.
Direktorat Reskrim Polda Aceh yang bekerja cepat mengusut kasus ini, tidak kesulitan mengungkap pelaku penembaka
tersebut. Hasil penyelidikan terhadap sejumlah saksi di lokasi kejadian,
akhirnya petugas Polres Podie, pada 29 April, menangkap Khairul Ansyari alias Adnan dan Munir alias Aneuk Saboh. Dua
orang inilah eksekutir Cek Gu pada hari naas tersebut. Kedua pelaku merupakan
warga Desa Bungie, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie.
Dari kedua tersangka, Polisi mengamankan satu pucuk
senjata api jenis FN yang digunakan untuk menghabisi korban, peluru aktif sebanyak
20 butir, uang tunai Rp 9 juta, handphone dan beberapa barang berharga lainnya
milik korban yang sempat dicuri para
pelaku. Malah dari pemeriksaan terhadap pelaku, terungkap kalau rencana
pembunuhan itu sebenarnya lebih kejam lagi. Setelah ditembak, korban mestinya dibakar
beserta mobilnya. Tapi rencana ini urung
dilaksanakan karena hari sudah terlalu pagi. Pelaku memilih mendorong mobil
korban ke dalam sungai.
Dari hasil pemeriksaan lebih lanjut, ternyata kasus
ini tidak hanya melibatkan kedua tersangka. Ada seorang tokoh politik lain yang
terlibat sebagai dalang utamanya. Ia adalah Tgk Ilyas, anggota DPRK Pidie dari
Partai Aceh. Dari hasil keterangan para
pelaku, terungkap kalau kasus pembunuhan ini terkait dengan sakit hati Tgk Ilyas yang menuduh korban telah
menjelek-jelekkan Partai Aceh dan petinggi di partai lokal itu. Cek Gu, antara lain sering menuding
keterlibatan elit PA dalam menguasai sejumlah proyek yang ada di Pemerintahan
Aceh.
Rencana pembunuhan Cek Gu itu disusun sendiri oleh Teungku
Ilyas. Ia memanggil dua orang yang dianggapnya layak melakukan eksekusi itu,
yakni Khairul dan Munir. Penyusunan
rencana dilakukan secara matang dan bertahap. Pertemuan pertama
berlangsung pada pertengahan Februari di
sebuah warung kopi di Pasar Keumala, Pidie. Dilanjutkan pertemuan kedua dan ketiga
bulan berikutnya di Kota Mini Kecamatan
Mutiara.
Dari rentetan pertemuan inilah akhirnya rencana
eksekusi Cek Gu dimatangkan, di mana Khairul dan Munir sebagai eksekutornya. Munir yang kenal baik dengan Cek Gu tidak sulit
untuk mengatur rencana eksekusi itu.
Sebelum eksekusi berlangsung ia sempat menelpon Cek Gu, menanyakan
keberadaannya pada hari itu. Dari komunikasi itulah Munir mengetahui kalau pagi
itu Cek Gu ada di Simpang Keumangan, Kecamatan Mutiara. Keduanya sempat janjian untuk bertemu di
jalan. Tujuannya untuk ngobrol biasa saja. Cek Gu menyambut baik rencana
pertemuan itu. Ia sama sekali tidak menaruh curiga kalau ia akan dieksekusi
pagi itu. Makanya ia sempat mengajak
Munir dan Khairul naik ke dalam mobilnya.
Malang bagi pelaku, ternyata ada masyarakat yang
melihat aksi mereka, sehingga polisi pun dengan mudah mengungkap kasus
pembunuhan tersebut. Polisi juga
memastikan keterlibatan Tgk Ilyas dalam scenario pembunuhan itu.
Namun sejak keterlibatannya terungkap, Tgk Ilyas
menghilang dari peredaran. Sampai saat inipun keberadaannya belum
diketahui aparat keamanan. Ia tidak
pernah lagi terlihat mengikuti sidang-sidang di DPRK Pidie. Keluarganya pun
mengaku tidak pernah menjalin komunikasi dengan Tgk Ilyas. Tinggal Khairul dan Munir yang harus
mempertanggungjawabkan tindakan mereka di pengadilan.[1]
Kasus kekerasan terkait dengan persaingan dua partai
politik partai lokal Aceh, PA dan PNA, tidak hanya sebatas peristiwa pembunuhan Cek
Gu saja. Ada sejumlah kasus lainnya yang
terjadi di beberapa daerah, termasuk pembakaran mobil Ford merah bernopol BK
751 milik kader PNA, Harlina (38) saat diparkir di halaman rumahnya, di Keude
Geudong, Samudera, Aceh Utara.
Herlina sendiri yakin kalau pembakaran mobilnya itu
terkait dengan persaingan politik yang ada di wilayah itu. Makanya PNA kemudian mengadukan kasus ini ke
polisi dan juga Badan Pengawas pemilu Aceh. Sayangnya, sampai saat ini pelaku
pembakaran mobil itu belum juga
terungkap.
Herlina bukanlah satu-satunya politisi PNA yang
mendapat intimidasi atau teror. Sebelumnya seorang politisi PNA di Aceh Utara
juga sempat diteror. Rumahnya dilempar dengan
batu oleh dua orang tak dikenal.
Ada pula sejumlah politisi perempuan PNA yang mendapat
ancaman agar tidak mencalonkan diri dalam pemilu 2014. Sedangkan seorang
politisi PNA lainnya, Zuhra dari Aceh Besar, sempat diancam agar tidak ikut
dalam Pemilu 2014. [2]
kekerasan politik itu tidak hanya dialami politisi PNA. Politisi PA juga
mengaku pernah mendapat ancaman. Seperti yang dialami Fadil Muhammad (33) Wakil Ketua Komisi A DPRK
Aceh Timur dari Praksi Partai Aceh, yang mengaku mobilnya ditembak orang tak
dikenal saat parkir di depan Kantor
Partai Aceh (PA) di Desa Peulalu, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur,
pada pukul 03.00 dini hari, Minggu 14 Juli 2013. Dalam laporannya ke
polisi, Fadil menyebutkan ada tiga tembakan
yang diarahkan ke mobilnya sehingga membuat kaca dan bagian samping mobilnya
bolong. Kasus penembakan inipun belum
terungkap sampai sekarang.
Melihat tren kekerasan politik terkait dengan Pemilu
ini, setidkanya menjadi indikasi kalau kekerasan Pemilu tampaknya akan menjadi
ancaman serius dalam konstelasi politik Aceh di 2014. Bawasda Aceh saja mengaku, sampai
November 2013 lalu, mereka telah menerima 41 pengaduan terkait ancaman dan
konflik Pemilu 2014.
Persoalannya semakin rumit, sebab Pemerintah Aceh, DPR
Aceh dan bahkan Komisi Independen Pemilih (KIP) Aceh tidak mengakui keberadaan Bawasda
sebagai lembaga pengawas Pemilu di
wilayah ini. Mereka menuding Bawasda Aceh yang dibentuk oleh Bawaslu pusat merupakan
lembaga pengawas pemilu ilegal di Aceh.
Polemik kelembagaan ini tentu saja memperburuk pelaksanaan
Pemilu Aceh 2014 menjadi semakin rumit. Selain
ancaman kekerasan, konflik antar lembaga pelaksana Pemilu di Aceh juga sarat
dengan masalah. Kondisi ini dipastikan berimbas pada situasi lapangan.
Rentetan persoalan ini menambah beban berat tugas
aparat keamanan. Situasi itu diperburuk lagi dengan tingginya tensi
konflik-konflik lainnya, seperti konflik
sumber daya alam, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), aksi kekerasan terkait
dengan tindakan main hakim sendiri oleh massa,
konflik karena kebijakan pemerintah dan sebagainya. Konflik kebijakan pemerintahan ini juga pantas
mendapat sorotan, karena masalah ini tidak
hanya melibatkan masyarakat yang berbeda pendapat di tingkat akra rumput , tapi
juga melibatkan konflik antara Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
Setidaknya ada tiga kasus konflik kebijakan Pemerintah
Aceh yang mengundang kontroversi di
kalangan masyarakat dan Pemerintah pusat, yakni terkait keberadaan Qanun Nomor
8 Tahun 2012 tentang Wali Nanggroe dan
Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh. Satu lagi yang
berpotensi menuai masalah adalah rencana Pemerintah Aceh untuk melahirkan Qanun
Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A), yang katanya untuk melanjutkan tugas reintegrasi
Aceh.
Khusus Qanun Wali nanggroe dan Qanun Lambang Aceh,
sejak awal memang telah menghadirkan banyak perdebatan. Tidak hanya sebagian
masyarakat Aceh dan Pemerintah Pusat yang mempersoalkan kedua qanun ini, Komnas HAM juga turut campur membahas kedua
qanun ini.
Dalam penilaian Komnas HAM, kedua qanun ini diskriminatif. Sejumlah pasal di dua qanun
itu tidak adil bagi suku-suku lain yang bukan merupakan suku mayoritas di Aceh.
Wakil Ketua Pengawasan dari Komnas HAM Kantor
Perwakilan Aceh, Sepriady Utama
mengatakan, alasan keberatan masyarakat terhadap kedua qanun ini adalah pertama,
Lembaga Wali Nanggroe Aceh dan bendera yang diusulkan tak dikenal dalam budaya
di kabupaten-kabupaten tersebut. Kedua, dua qanun itu diterbitkan
dengan proses yang minim partisipasi masyarakat.
Ketiga,
Qanun Wali Nanggroe menutup kesempatan masyarakat di kabupaten-kabupaten tersebut
menjadi Wali Nanggroe Aceh. Keempat, penggunaan bendera Aceh
berdasarkan bendera dari satu kelompok tertentu dapat menimbulkan trauma
konflik yang terjadi pada masa lalu. Kelima, ada anggapan bahwa
masyarakat Aceh yang berada dan bertempat tinggal di wilayah
kabupaten-kabupaten tersebut tidak termasuk rakyat Aceh. [3]
Tak heran jika sepanjang 2013, sejumlah aksi protes kerap muncul di
berbagai wilayah menuntut Pemerintah Aceh dan DPRK membatalkan kedua qanun ini.
Koalisi NGO HAM mencatat, setidaknya ada
19 kali terjadi aksi demo di berbagai
wilayah memprotes kedua qanun ini. Bahkan tim sosialisasi yang dihadirkan
Pemerintah Aceh, mendapat penolakan di sejumlah daerah. [4]
Aksi demo menolak Qanun Wali Nanggroe dan Qanun
Lambang Aceh terbanyak terjadi di Aceh Barat, Takengon, Aceh Timur, Aceh
Tamiang, Aceh Tenggara, Banda Aceh, Aceh Singkil dan Aceh Selatan.
Pemerintah Indonesia sendiri masih terus menyorot
keberadaan kedua qanun ini karena tidak
dianggap tidak cocok dengan semangat yang diusung ndang-Undang Nomor 11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. Qanun Lambang dan Bendera Aceh mendapat
kritikan tajam dari karena menggunakan bendera dan lambang GAM sebagai bendera
dan lambang Aceh. Keputusan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor
77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, di mana
pada Pasal 6 ayat 4 menyatakan bahwa desain logo dan bendera daerah
tidak boleh mempunyai persamaan dengan desain logo bendera organisasi terlarang
atau gerakan separatis.
Menjelang penghujung tahun 2013, Pemerintah Aceh telah
berupaya merevisi kedua qanun ini. Qanun
Wali Nanggrore misalnya, sudah mendapat
perbaikan di beberapa pasal. Anehnya, belum lagi perbaikan itu disampaikan
kepada Menteri Dalam Negeri, pada 16
Desember 2013, DPR Aceh langsung melantik Malik Mahmud Al Haytar, mantan
perdana Menteri GAM sebagai Wali Nanggroe. Pelantikan ini erat kaitannya dengan
pengalokasian dana yang telah ditetapkan DPR Aceh untuk Wali Nanggoe pada tahun
anggaran 2014. Bahkan sebelum Malik
Mahmud dilantik sebagai Wali Nanggroe, ia sudah mendapatkan alokasi anggaran operasional di dalam APBA.
Aneh tapi nyata, tapi inilah Aceh.
Wajar jika Menteri Dalam Negeri menolak kebijakan itu. Ia beberapa kali mengoreksi penempatan
anggaran untuk Wali Nanggroe, baik yang ditetapkan dalam APBA 2013 maupun yang disahkan
dalam APBA 2014. Mendagri juga mencoret anggaran untuk Badan Penguatan
perdamaian Aceh (BP2A) senilai Rp 80 miliar, karena badan ini belum mendapat
pengesahan dari DPR Aceh sebagai bagian
dari lembaga Satuan kerja Perangkat Aceh (SKPA). Kehadiran BP2A juga mengundang
kontroversi di penghujung tahun karena Pemerintah Aceh terkesan sangat
memaksakan agar lembaga ini hadir sebagai salah satu lembaga non struktural di
Aceh.
Pemerintah Aceh secara diam-diam sebenarnya sudah
menyiapkan rancangan qanun untuk memperkuat keberadaan BP2A ini, namun sampai
akhir tahun 2013, belum jua disahkan.
Rencananya sebelum April 2014, Rancangan Qanun BP2A ini akan disahkan
sebagai qanun. Itu sebabnya untuk anggaran APBA 2014, DPR Aceh dan pemerintah
Aceh sudah menetapkan anggaran untuk badan ini. Inilah risiko jika demokrasi dikendalikan
oleh satu pihak saja.
Sebagaimana diketahui, Pemerintahan Aceh dan DPR Aceh memang sangat kental di bawah kendali
Partai Aceh. Kursi Fraksi Partai Aceh di DPR Aceh lebih dari 50 persen.
Kalaupun semua partai lain kompak untuk bergabung,
mereka tetap tidak mampu mengalahkan dominasi Fraksi Partai Aceh.
Tak heran jika dalam sebuah sidang, seorang politisi
partai nasional pernah mengatakan, “Pokoknya apa pun yang dikatakan oleh Partai
Aceh, maka itulah yang mesti disahkan DPR Aceh. Kalaupun kami bantah, pasti
tidak ada gunanya. Kalau terus berdebat, ujung-ujungnya nanti voting. Kalau voting
dilakukan, kami kalah juga.”
Kekuatan Partai Aceh di DPR Aceh semakin tidak
terkontrol karena Pemerintahan Aceh juga dikendalikan oleh politisi Partai
Aceh. Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dan Muzaki Manaf, adalah
tokoh penting dalam Partai Aceh. Keduanya merupakan elit GAM yang sangat
berpengaruh di partai tersebut.
Jadi bisa dibayangkan betapa kuatnya dominasi Partai
Aceh di Aceh, apalagi Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah adalah adik kandung dari
Zaini Abdullah. Bagaimana mungkin seorang Hasbi Abdullah bisa secara objektif
melakukan pengawasan terhadap kinerja kakaknya di eksekutif.
Ya, inilah Aceh. Sejak kesepakatan damai 15 Agustus
2005 ditandatangani di Helsinki, praktis Aceh memang dalam genggaman para
politisi Partai Aceh, partai yang dikendalikan oleh mantan kombatan GAM. Tak
heran jika ada anggapan kalau perdamaian itu hanyalah seremoni penyerahan
kekuasaan dari Pemerintah Indonesia ke
Pemerintahan Aceh yang dikendalikan mantan politisi dan gerilyawan GAM.
Jenis konflik lain yang intensitasnya cukup tinggi di
Aceh sepanjang tahun 2013 adalah konflik sumber daya alam. Kasus seperti ini
banyak terjadi di wilayah-wilayah yang banyak memiliki perusahaan perkebunan,
seperti di Aceh Timur, Aceh Singkil, Nagan Raya dan Aceh Barat. Koalisi NGO HAM dan SNPK
mencatat, sepanjang 2013 ada 25 konflik dan kekerasan terkait sumber
daya alam yang mencuat ke permukaan. Sebagian
besar di antaranya merupakan sengketa lahan.
Protes masyarakat terkait kebijakan pemerintahan dan
pelayanan publik juga cukup tinggi.
Seperti kasus yang terjadi di
Aceh Tenggara pada 16 November 20913, di mana empat tenaga honorer Pemda setempat membakar kantor Badan
Kepegawaian Daerah karena kecewa soal
kebijakan pemerintah dalam hal
pengangkatan tenaga CPNS. Ada
pula aksi ratusan massa warga Desa Baroh Musa, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya, yang mengamuk di lahan
pembangunan perumahan sejahtera tapak program KPR Kementerian Perumahan Rakyat,
karena kecewa soal pembangunan rumah untuk keluarga miskin yang tidak
dilengkapi surat-surat.
Yang menarik, konflik rebutan proyek juga banyak
terjadi di Aceh. Seorang ajudan bupati
di Aceh Barat Daya, 31 Oktober lalu, sempat diculik sekelompok pemuda yang
diketahui merupakan anggota KPA setempat, karena kecewa soal pembagian jatah
proyek. Ajudan tersebut kemudian
berhasil melarikan diri dan mengadukan kasus penculikan itu ke polisi. Namun
penanganan kasusnya belum jelas sampai sekarang.
Kasus terbaru terkait protes massa soal kebijakan
pemerintah Aceh, terjadi di Kantor Gubernur pada 27 Desember lalu. Ketika itu,
sekitar seribuan massa melakukan aksi demo dan pengrusakan terhadap
sejumlah kaca dan ruangan di kantor tersebut.
Kemarahan massa dipicu kekecewaan
mereka karena Pemerintah Aceh tidak merespon proposal bantuan ekonomi sebesar
Rp 500 ribu per proposal, sebagaimana dijanjikan
pemerintah Aceh sebelumnya.
Mereka juga menuntut janji Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang pernah
menjanjikan bantuan ekonomi kepada masyarakat miskin di Aceh saat Pemilu
2012. Akibat aksi demo itu, enam orang
ditahan. Polisi sempat melakukan tembakan peringatan ke udara untuk menenangkan
massa yang mengamuk tak terkendali.
Di Desa Lhok Cut, Kecamatan Sawang, Aceh Utara, 26 Agustus 2013 terjadi kasus cukup
mengejutkan, yakni aksi sekelompok massa yang membakar jebatan gantung, karena
kecewa sebab jembatan itu tak kunjung direhab oleh Pemerintah setempat.
Jembatan itu sudah lebih setahun mengalami kerusakan parah, sementara
masyarakat sangat membutuhkan jasanya.
Mirip kasus Aceh Utara ini, di Desa Alue Seulaseh,
Kecamatan Jeumpa, 6 Juli 2013, terjadi
aksi pengrusakan pipa saluran induk air minum, karena pasokan air minum
terhenti selama beberapa minggu.
Kasus-kasus perlawanan massa terhadap tata kelola
pemerintahan ini menunjukan kalau masyarakat sudah cukup sadar tentang hak-hak
ekonnomi, sosial dan budaya (Ekosob)
mereka yang seharusnya disediakan
pemerintahan. Itu sebabnya masalah pelayanan publik juga menjadi isu penting
sepanjang tahun 2013 di Aceh. Setidaknya Koalisi NGO HAM dan SNPK mencatat jumlah
kassus kekerasan dan konflik memprotes kebijakan dan tata kelola pemerintah di Aceh sepanjang 2013
mencapai 38 kasus. Terbanyak
terjadi di Banda Aceh ( 5 kasus), disusul Aceh Utara (3 kasus) dan Pidie 2
kasus.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi
persoalan pelik yang kerap terjadi di Aceh.
tahun lalu, data yang tercatat menyebutkan ada 27 kasus KDRT yang
mencuat dalam pemberitaan media. Namun pada kenyataannya, dipastikan angka itu
jauh lebih besar mengingat banyak sekali kasus KDRT yang tidak muncul ke
permukaan.
Namun dari semua yang dipantau oleh Koalisi NGO HAM
Aceh, yang terbanyak adalah peristiwa kekerasan main hakim sendiri. Setidaknya
ada 102 kasus kekerasan yang dikategorikan tindakan main hakim sendiri (vigilante).
Sebagian besar kasus vigilante ini
terkait dengan pelanggaran syariat Islam, seperti kasus khalwat, zina dan lainnya. Sebagian lagi terkait
dengan kriminal.
Ada pula kasus main hakim sendiri oleh massa yang melawan
kebijakan aparatur negara, seperti penganiyaan empat anggota Polres Aceh Utara
oleh sekelompok pemuda Desa Ulee Matang, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara 1
November 2013. Pasalnya, pemuda setempat kecewa karena keempat polisi itu
menangkap teman mereka yang dituduh menggunakan narkoba. Sedangkan untuk kasus main hakim sendiri yang terkait
politik, di antaranya karena aksi penurunan bendera salah satu partai lokal.
Tindaka itu menyulut kemarahan dari massa pendukung partai tersebut, sehingga terjadi aksi
pengeroyokan yang membuat pelaku babak belur.
Dari 102 kasus main hakim sendiri yang terdata
sepanjang 2013, kasus paling banyak terjadi di Aceh Utara 23 kasus, disusul
Aceh Timur, 16 kasus, Aceh Besar 15 kasus, Bireuen serta dan Banda Aceh
masing-masing 12 kasus.
Potensi
kekerasan 2014
Dengan membaca fenomena kekerasan dan konflik yang
terjadi sepanjang tahun 2013, bisa disimpulkan bahwa potensi konflik dan
kekerasan di Aceh pada tahun 2014 akan
tetap tinggi. Apalagi pada tahun ini berlangsung Pemilu legislatif yang diikuti tiga partai lokal di Aceh.
persaingan pasti berlangsung sengit, terutama dua partai lokal yang sejak awal
sudah terlihat saling sikut, yaitu Partai Aceh (PA) dan partai Nasional
Aceh (PNA).
Lagi pula sudah jamak di Aceh, setiap penyelenggaraan
Pemilu dan pemilukada, selalu saja disertai munculnya sejumlah kasus kekerasan.
Beberapa di antaranya bisa dikategorikan kekerasan yang cukup mencemaskan
karena memakan korban tewas. Pada Pemilu Legislatif 2009 misalnya, tercatat 13 orang tewas ditembak
yang sebagian di antara mereka merupakan pendukung salah satu partai lokal.
Sedangkan pada Pemilukada Aceh 2012 lalu, para
aktivits LSM Aceh setidaknya menemukan 108 kasus kekerasan cukup berat. Bahan ada
aksi teror yang memakan korban sembilan orang warga pendatang, di mana pelakunya terbukti merupakan pentolan salah
satu partai lokal. Dengan fakta dan data ini, maka wajar jika Polri jauh-jauh hari sudah memberi sinyal tentang tingginya
eskalasi konflik kekerasan pada Pemilu 2014 di Aceh.
Persaingan Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh pantas
mendapat sorotan publik, karena konflik Pemilu
yang terjadi sepanjang tahun 2013 umumnya melibatkan persaingan kedua partai
lokal ini. Kalaupun petinggi kedua partai ini mengaku sudah melakukan
konsolidasi untuk meredam konflik di antara mereka, namun konsolidasi yang
dimaksud tidak tersosialisasi hingga ke akar rumput. Di tingkat masyarakat,
aroma persaingan masih sangat kuat.
Indikasi persaingan tidak sehat itu bisa dilihat saat
berlangsungnya Pemilukada Pidie Jaya pada Oktober lalu. Massa dari Partai Aceh
dan Partai Nasional Aceh yang mendukung kandidat berbeda, beberapa kali
terlibat aksi kekerasan. Salah satu
pihak bahkan sempat membakar dua kantor camat di wilayah itu, karena merasa dirugikan dengan kebijakan
aparat setempat. Perseteruan dua pendukung partai lokal ini kemungkinan
berlanjut pada Pemilu Legislatif 2014 nanti.
Selain isu Pemilu yang pasti panas, konflik yang dipicu polemik Qanun Wali
Nanggroe dan Qanun Bendera dipastikan belum mereda. Meski Malik Mahmud telah
dilantik sebagai wali nanggroe, aroma
penolakan tetap menguat di berbagai daerah.
Sampai panghujung tahun 2013, aksi pembakaran terhadap
bendera GAM -- yang telah diputuskan DPR Aceh dan pemerintah Aceh sebagai
bendera Aceh -- terus marak di beberapa daerah. Sosialisai kedua qanun
ini tidak berjalan mulus, karena adanya aksi penolakan yang bercampur pula dengan ancaman dari kelompok yang
anti dengan Wali Nanggroe dan bendera GAM.
Bukan tidak mungkin konflik bendera dan wali Nanggroe
serta konflik-konflik lainnya terkait kekecewaan rakyat terhadap Pemerintah Aceh, menjadi
‘mainan’ para lawan politik penguasa di
Aceh dalam kampanye nanti. Jika ini yang
terjadi, maka akumulasi konflik 2013 berpotensi menuai klimaks pada tahun 2014.
***
[1] Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Sigli, Senin 23 Desember 2013, majelis Hakim akhirnya memvonis
sembilan tahun penjara untuk Munir alias Aneuk Saboh dan sebelas tahun terhadap Khairul Anshari
alias Adnan.
Amar putusan itu dibacakan majelis hakim
yang sama dalam sidang terpisah, diketuai Nurmiati, didampingi dua hakim
anggota, M Yusuf dan Anisa Sitawati. Sebelumnya, jaksa penuntut umum, menuntut
Munir 13 tahun penjara, sedangkan Khairul Anshari 15 tahun. Majelis hakim
menjerat para pelaku dengan pasal berlapis, yakni
Pasal 338 dan 340 KUHP ditambah dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat
Nomor 12 Tahun 1959 tentang kepemilikan senjata api dan bahan peledak dengan hukuman
sebelas tahun. Sedangkan terhadap Munir, majelis hakim berkesimpulan bahwa ia telah
terbukti secara sah merencanakan pembunuhan terhadap Cekgu. Munir dibidik
dengan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1
KUHP karena bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum. Munir juga dibidik
dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa dan diganjar dengan hukuman
sembilan tahun penjara.
[2] Para calon anggota legislatif (caleg) Partai Nasional Aceh (PNA) yang
mengaku kerap terintimidasi di Aceh,
secara resmi telah meminta polisi mengusut tuntas sejumlah kasus
pengancaman terhadap caleg mereka. Darwati A Gani, Caleg PNA untuk DPRA, yang merupakan istri
dari Irwandi Yusuf, mengemukakan ini kepada wartawan dalam konferensi pers yang
diadakannya di Banda Aceh, Jumat
(26/4/2013). Selain Darwati, juga hadir para caleg PNA untuk DPRA dari daerah
pemilihan lainnya, serta caleg DPRK Banda Aceh dan Aceh Besar. Darwati
mengatakan cukup banyak caleg perempuan dari PNA di berbagai daerah yang
diminta mundur oleh peneror. Jika tidak,
maka para caleg itu diancam tembak. Akibat teror tersebut, sudah ada beberapa
caleg PNA yang mundur. Ketua Umum PNA, Irwansyah, dalam konferensi pers di
Kantor DPP PNA di Banda Aceh, Kamis 25/4/2013 menyebutkan di Aceh Besar
saja ada lima calon PNA yang mundur, Pidie Jaya ada dua, Aceh Timur juga ada
yang mundur karena ancaman akan ditembak. Serambi 28 April 2013
[3]Komnas HAM
meminta agar pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh menyerap aspirasi seluruh pemerintah
kabupaten/kota di Aceh.
[4] Syamsuddin, wakil Ketua
Majelis Adat Aceh (MAA) yang merupakan salah satu anggota tim sosialisasi Qanun
Wali Nanggroe mengaku kalau mereka tidak bisa melakukan sosialisasi soal qanun
tersebut di sejumlah daerah. Tim sosialisasi yang dipimpinnya mendapat
penolakan, antara lain di Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Aceh Barat. Kalau di
Aceh Tengah dan Aceh Tenggara, mereka dipaksa menghentikan kegiatan sosialisasi
oleh sekelompok massa yang menolak qaun wali nanggroe. Yang lebih ekstri justru
di Aceh Barat, karena tim sosialisasi itu diancam dan dipaksa untuk segera meninggalkan Aceh
Barat.