English Arabic
Home » , , » Krueng Keureutoe, Riwayatmu Dulu

http://misykah.com/wp-content/uploads/2013/12/KEUREUTO1-300x225.jpg
Pemandangan di daerah aliran Krueng Keureuto bagian hulu dalam 
Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. (Foto: CISAH)

BAGAI pejabat berkasus saja, Krueng Keureuto di Kabupaten Aceh Utara kerap menjadi objek pemberitaan. Hampir setiap tahun dalam dasawarsa terakhir, ia digiring ke kursi persidangan publik media massa. Tak tanggung-tanggung, ia didakwa sebagai penyebab utama terjadinya banjir di wilayah Lhokseukon dan sekitarnya—banjir yang telah mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang berdiam di sekitar alirannya.

“Sungai Keureuto Lhoksukon kembali meluap pada Senin (16/12/2013) dini hari dan 2 tanggul bobol,” lansir sebuah media dua pekan lalu, “meski tak ada korban jiwa, namun dipastikan masyarakat menderita kerugian yang sangat banyak karena saat banjir datang banyak perabot rumah tangga yang tidak bisa diselamatkan sehingga terkena banjir dan tidak bisa dipakai kembali.”

Dua bulan sebelumnya, 18/10/2013, satu media lain juga memberitakan, “Empat kecamatan di Aceh Utara, sekitar pukul 04.00 WIB, kembali dilanda banjir kiriman. Hal ini diakibatkan debit air di Krueng Keureuto dan Krueng Pirak meluap dan menggenangi pemukiman serta ruas jalan.”

Batang air yang cakupan daerah alirannya mencapai 931 km2 ini memang acap kali meluap pada musim curah hujan berintensitas tinggi. Luapannya menimbulkan bencana banjir, terutama di wilayah-wilayah kecamatan Matangkuli, Lhokseukon, Baktiya dan Tanah Pasir. Sebuah penelitian  dimuat Teras Jurnal, edisi Juni 2012, menyebutkan, lama genangan banjir itu mulai 7 sampai 15 hari dan setinggi 60-100 cm. “Ini kemudian menjadi permasalahan setelah terjadi konflik kepentingan dengan kehidupan masyarakat,” tulis Muhammad Kabir Ihsan dalam laporan penelitiannya bertajuk  “Pengaruh Tataguna Lahan terhadap Besaran Banjir  dan Sendimen DAS Krueng Kereuto Aceh Utara” di Teras Jurnal, edisi Maret 2013.

http://misykah.com/wp-content/uploads/2013/12/KEUREUTO-300x181.jpg
Kompleks makam dari zaman Samudra Pasai di Meunasah Mampre, 
sebuah gampong di tepi Krueng Keureuto, 
Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. (Foto: CISAH)

Kini, sungai sepenjulat 77,5 km ini dinilai sebagai ancaman yang hampir saban tahun membawa petaka. Menyedihkan, saat reputasi yang dicatat sungai ini tidak seelok pada masa lampaunya.

Lebih seabad yang lalu, daerah aliran sungai ini dikenal dengan Kenegerian Keureuto, sebuah kenegerian yang diperhitungkan di kesultanan Aceh Darussalam. Konon, penguasa Keureuto juga selalu dilibatkan dalam majelis permusyawaratan sultan. Kedudukan tersebut tentu telah diperoleh dengan sangat wajar sebab Keureuto merupakan kenegerian yang luas, kaya dan makmur. Dan Krueng Keureuto merupakan bintangnya ketika itu, disanjung sebagai pembawa kesuburan dan berkah.

Pada masa perang kolonial Belanda, Keureuto juga telah melahirkan sederet pahlawan legendaris, di antaranya, Teungku Chik di Tunong, Teungku di Mata Ie, Teungku Paya Bakong, Cut Meutia dan Pang Nanggroe. Mereka putra-putri Keureuto yang memiliki kesadaran kebangsaan dan Agama yang tinggi, dan hanya mungkin terlahir dari tengah-tengah masyarakat yang berbudaya maju. Lagi-lagi, aliran sungai yang bermuara di Kuala Keureuto, Kecamatan Lapang, ini telah ikut menumbuhkan masyarakat-masyarakat yang mewah dan berbudaya di sepanjang tepinya. Tak disangsikan, jika kawasan aliran Krueng Keureuto pernah menjadi tanah impian.

Kenyataan ini semakin terungkap ketika CISAH, Lhokseumawe, melakukan sebuah kegiatan peninjauan potensi kepurbakalan di wilayah hulu Krueng Keureuto pada 2011 silam. Kegiatan yang diberi nama Ekspedisi Meugat Seukandar III itu berhasil menghimpun data-data arkheologis penting. Kehidupan yang lebih silam di daerah aliran Krueng Keureuto pun tersingkap. Tidak kurang dari 47 situs pemakaman kuno dari era Samudra Pasai berhasil ditemukan di wilayah Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, salah satu kecamatan di hulu Krueng Keureuto. Jumlah nisan yang dijumpai di setiap situs secara pasti menggambarkan ledakan penduduk yang barangkali tidak pernah terulang di sepanjang sejarah wilayah pedalaman ini (jika ditarik garis lurus, maka ibukota Kecamatan Paya Bakong berjarak sekitar 17, 58 dari garis pantai).

“Beberapa temuan benda kuno selain nisan makam menunjukkan adanya masyarakat elit atau kaum berada yang menghuni sebagian lokasi-lokasi situs. Sebab, benda tersebut merupakan benda impor yang hanya mungkin dipesan dari negara luar oleh seorang yang kaya,” terang Dedy Satria, arkeolog tamatan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yang ikut serta dalam Ekspedisi.

Asal-usul nama Keureuto, akhirnya, dipertanyakan. Nama ini tampaknya bukan asal sebut. Ia menyiratkan suatu riwayat di masa silam. Sayangnya, tidak ada keterangan yang bisa diperoleh dari masyarakat setempat. Tetapi sebuah saran boleh saja diajukan. Keureuto, agaknya, berasal dari bahasa Sansekerta, karéta (kereta).

Kendati belum pernah ditemukan suatu benda sejarah yang mengonkritkan kehadiran budaya masa pra-Islam di kawasan tersebut, tapi dari sudut toponimi, saran itu masuk akal juga. Sungai ini mengangkut sangat banyak aliran sungai lain, mulai dari bagian hulu, tengah dan hilirnya. Krueng Lingga, Alue Rampah, Alue Kroh, Krueng Pirak, Alue Leuhob, Krueng Cikoe, Krueng Peuto sampai Alue Ganto merupakan aliran-aliran air yang “menaikkan penumpangnya” ke Keureuto. Krueng Keureuto lalu membawanya ke laut Selat Malaka.

Tim Ekspedisi Meugat Seukandar III, di akhir peninjauannya, menyepakati kawasan di sepanjang aliran Kreung Keureuto, mulai hulu sampai hilirnya, pernah menjadi pusat kebudayaan dan peradaban, terutama di zaman Samudra Pasai, antara abad ke-13 sampai ke-16. Malah, benda-benda tinggalan sejarah dari zaman tersebut mengindikasikan pula adanya suatu kebudayaan pra-Islam yang telah berkembang.

Kesimpulan mutakhir dari penelitian CISAH, kawasan Krueng Kereuto telah dihuni manusia sejak berkalang abad. Sungai ini memiliki reputasi yang sangat baik di masa silam, andilnya dalam menumbuhkan kebudayaan dan peradaban di era Samudra Pasai tidak dapat dinafikan. Lalu, jika dewasa ini, sungai yang kealamiahannya telah banyak dirusak dan diutak-atik tangan manusia ini menjadi ancaman, maka mutlak disebabkan nihilnya pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya sungai yang perannya bak kereta ini.


Redaksi: Safrizal
Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg





Diberdayakan oleh Blogger.