Pemandangan di daerah aliran Krueng Keureuto bagian hulu dalam
Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. (Foto: CISAH)
|
BAGAI pejabat berkasus saja, Krueng Keureuto di Kabupaten
Aceh Utara kerap menjadi objek pemberitaan. Hampir setiap tahun dalam dasawarsa
terakhir, ia digiring ke kursi persidangan publik media massa. Tak
tanggung-tanggung, ia didakwa sebagai penyebab utama terjadinya banjir di
wilayah Lhokseukon dan sekitarnya—banjir yang telah mengakibatkan kerugian
besar bagi masyarakat yang berdiam di sekitar alirannya.
“Sungai Keureuto Lhoksukon kembali meluap pada Senin
(16/12/2013) dini hari dan 2 tanggul bobol,” lansir sebuah media dua pekan
lalu, “meski tak ada korban jiwa, namun dipastikan masyarakat menderita
kerugian yang sangat banyak karena saat banjir datang banyak perabot rumah
tangga yang tidak bisa diselamatkan sehingga terkena banjir dan tidak bisa
dipakai kembali.”
Dua bulan sebelumnya, 18/10/2013, satu media lain juga
memberitakan, “Empat kecamatan di Aceh Utara, sekitar pukul 04.00 WIB, kembali
dilanda banjir kiriman. Hal ini diakibatkan debit air di Krueng Keureuto dan
Krueng Pirak meluap dan menggenangi pemukiman serta ruas jalan.”
Batang air yang cakupan daerah alirannya mencapai 931 km2
ini memang acap kali meluap pada musim curah hujan berintensitas tinggi.
Luapannya menimbulkan bencana banjir, terutama di wilayah-wilayah kecamatan
Matangkuli, Lhokseukon, Baktiya dan Tanah Pasir. Sebuah penelitian dimuat Teras Jurnal, edisi Juni 2012,
menyebutkan, lama genangan banjir itu mulai 7 sampai 15 hari dan setinggi
60-100 cm. “Ini kemudian menjadi permasalahan setelah terjadi konflik
kepentingan dengan kehidupan masyarakat,” tulis Muhammad Kabir Ihsan dalam
laporan penelitiannya bertajuk “Pengaruh
Tataguna Lahan terhadap Besaran Banjir dan Sendimen DAS Krueng Kereuto Aceh Utara” di
Teras Jurnal, edisi Maret 2013.
Kompleks makam dari zaman Samudra Pasai di Meunasah Mampre,
sebuah gampong di tepi Krueng Keureuto,
Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. (Foto: CISAH)
|
Kini, sungai sepenjulat 77,5 km ini dinilai sebagai ancaman
yang hampir saban tahun membawa petaka. Menyedihkan, saat reputasi yang dicatat
sungai ini tidak seelok pada masa lampaunya.
Lebih seabad yang lalu, daerah aliran sungai ini dikenal
dengan Kenegerian Keureuto, sebuah kenegerian yang diperhitungkan di kesultanan
Aceh Darussalam. Konon, penguasa Keureuto juga selalu dilibatkan dalam majelis
permusyawaratan sultan. Kedudukan tersebut tentu telah diperoleh dengan sangat
wajar sebab Keureuto merupakan kenegerian yang luas, kaya dan makmur. Dan
Krueng Keureuto merupakan bintangnya ketika itu, disanjung sebagai pembawa
kesuburan dan berkah.
Pada masa perang kolonial Belanda, Keureuto juga telah
melahirkan sederet pahlawan legendaris, di antaranya, Teungku Chik di Tunong,
Teungku di Mata Ie, Teungku Paya Bakong, Cut Meutia dan Pang Nanggroe. Mereka
putra-putri Keureuto yang memiliki kesadaran kebangsaan dan Agama yang tinggi,
dan hanya mungkin terlahir dari tengah-tengah masyarakat yang berbudaya maju.
Lagi-lagi, aliran sungai yang bermuara di Kuala Keureuto, Kecamatan Lapang, ini
telah ikut menumbuhkan masyarakat-masyarakat yang mewah dan berbudaya di
sepanjang tepinya. Tak disangsikan, jika kawasan aliran Krueng Keureuto pernah
menjadi tanah impian.
Kenyataan ini semakin terungkap ketika CISAH, Lhokseumawe,
melakukan sebuah kegiatan peninjauan potensi kepurbakalan di wilayah hulu
Krueng Keureuto pada 2011 silam. Kegiatan yang diberi nama Ekspedisi Meugat
Seukandar III itu berhasil menghimpun data-data arkheologis penting. Kehidupan
yang lebih silam di daerah aliran Krueng Keureuto pun tersingkap. Tidak kurang
dari 47 situs pemakaman kuno dari era Samudra Pasai berhasil ditemukan di
wilayah Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, salah satu kecamatan di hulu Krueng
Keureuto. Jumlah nisan yang dijumpai di setiap situs secara pasti menggambarkan
ledakan penduduk yang barangkali tidak pernah terulang di sepanjang sejarah wilayah
pedalaman ini (jika ditarik garis lurus, maka ibukota Kecamatan Paya Bakong
berjarak sekitar 17, 58 dari garis pantai).
“Beberapa temuan benda kuno selain nisan makam menunjukkan
adanya masyarakat elit atau kaum berada yang menghuni sebagian lokasi-lokasi
situs. Sebab, benda tersebut merupakan benda impor yang hanya mungkin dipesan
dari negara luar oleh seorang yang kaya,” terang Dedy Satria, arkeolog tamatan
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yang ikut serta dalam Ekspedisi.
Asal-usul nama Keureuto, akhirnya, dipertanyakan. Nama ini
tampaknya bukan asal sebut. Ia menyiratkan suatu riwayat di masa silam.
Sayangnya, tidak ada keterangan yang bisa diperoleh dari masyarakat setempat.
Tetapi sebuah saran boleh saja diajukan. Keureuto, agaknya, berasal dari bahasa
Sansekerta, karéta (kereta).
Kendati belum pernah ditemukan suatu benda sejarah yang
mengonkritkan kehadiran budaya masa pra-Islam di kawasan tersebut, tapi dari
sudut toponimi, saran itu masuk akal juga. Sungai ini mengangkut sangat banyak
aliran sungai lain, mulai dari bagian hulu, tengah dan hilirnya. Krueng Lingga,
Alue Rampah, Alue Kroh, Krueng Pirak, Alue Leuhob, Krueng Cikoe, Krueng Peuto
sampai Alue Ganto merupakan aliran-aliran air yang “menaikkan penumpangnya” ke
Keureuto. Krueng Keureuto lalu membawanya ke laut Selat Malaka.
Tim Ekspedisi Meugat Seukandar III, di akhir peninjauannya,
menyepakati kawasan di sepanjang aliran Kreung Keureuto, mulai hulu sampai
hilirnya, pernah menjadi pusat kebudayaan dan peradaban, terutama di zaman
Samudra Pasai, antara abad ke-13 sampai ke-16. Malah, benda-benda tinggalan
sejarah dari zaman tersebut mengindikasikan pula adanya suatu kebudayaan
pra-Islam yang telah berkembang.
Kesimpulan mutakhir dari penelitian CISAH, kawasan Krueng
Kereuto telah dihuni manusia sejak berkalang abad. Sungai ini memiliki reputasi
yang sangat baik di masa silam, andilnya dalam menumbuhkan kebudayaan dan
peradaban di era Samudra Pasai tidak dapat dinafikan. Lalu, jika dewasa ini,
sungai yang kealamiahannya telah banyak dirusak dan diutak-atik tangan manusia
ini menjadi ancaman, maka mutlak disebabkan nihilnya pengetahuan dan kesadaran
akan pentingnya sungai yang perannya bak kereta ini.
Sumber: http://misykah.com
Redaksi: Safrizal